Rabu, 25 Maret 2015

STPC (Holland: One Fine Day in Leiden) by Feba Sukmana

Rasanya sudah lama sekali aku ga baca serial STPC (Setiap Tempat Punya Cerita), terakhir kali baca STPC Melbourne dan itupun ga nge-review -_-

Btw, apa sih yang pertama kali kalian bayangin pas denger kata Holland?

Tulips?

Kinderdijk?

Atau, bahkan Kubuswoning?

Yap! benar sekali! ketiga hal tersebut merupakan bagian kecil dari Holland. Banyak sekali tempat-tempat, sejarah, tradisi, dan juga kalimat-kalimat dalam bahasa Belanda yang ada dalam buku ini. 



Bercerita tentang Kara, yang mencari ibunya. 
Ibu yang pergi, Kara yang mencari. 
Begitulah kalimat yang selalu ada dibenak Kara. Hingga tak ada waktu untuk cinta. Kara yang mencari sosok ibu, sosok yang selama ini tak terjamah dan berdebu di sudut hatinya. 

Kara mendapat beasiswa untuk menyelesaikan Master in Public International Law di Universiteit Leiden. Kota kecil, indah dan menyenangkan. 

Kemudian, datanglah paket itu, paket dari Yangkung dan Yangti yang ada di Yogyakarta. Paket yang membuat kara enggan untuk mendatangi Amsterdam. Enggan menghadapi kenyataan. Seringkali Kara berharap bahwa rintik hujan yang selalu menghampiri Leiden dapat menghapuskan separuh ingatannya, seperti ia menyapu-nyapu jejak sepatu di jalan berdebu. 
Karena, ternyata manusia butuh lupa untuk menghapus luka, hal 101

Ditambah lagi, dengan hadirnya Rein, cowok yang membuat Kara bahagia setiap kali ada di dekatnya, cowok dengan mata pirus itu. Rein yang membuat Kara seringkali bertanya-tanya kenapa selalu datang dan pergi sesuka hati, pergi begitu saja - seperti Ibu -. Rein yang menyimpan misteri. Kara selalu mengingatkan dirinya sendiri Aku tidak berada di sini untuk jatuh cinta. Tetapi sering kali luluh, setiap kali Rein datang menyapanya dan mengajaknya menyusuri Leiden, Den Hag, Friesland, Rotterdam, dan Amsterdam.

Anyway, terlalu banyak kebetulan antara Rein dan Kara. Seperti pada umumnya kisah percintaan fiksi. Ceritanya mengalir begitu saja. Penjabaran deskripsi tempat, tradisi dan sejarahnya - yang menurutku malah terpaku di situ (karena lebih dominan ketimbang konflik) - sangat jelas. Membuatku punya pengalaman baru lagi, meskipun belum pernah datang langsung ke Belanda tapi rasanya, aku sudah menginjakkan kaki di sana. 

Pada akhirnya, Kara memang harus menyingkirkan ketakutannya. Menghadapinya. Meluruskan hubungannya dengan Ibu. 

Hanya saja, Kara, jika kau merawat amarah dalam dirimu, waktu akan membuatmu lupa. Kau tak akan ingat lagi penyebab awal yang membuatmu marah. Yang tersisa hanya gumpalan emosi yang tak terjelaskan dan kekakuan untuk memulai kembali.
Jangan simpan kemarahan terlalu lama. 



Mereka semua hanya perlu berdamai dengan masa lalu. Menerima keadaan. Dan belajar dari kesalahan. 

Xo, 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar